OPINI – Evaluasi Sistem Pendidikan Indonesia : Reformasi Kurikulum atau Sekadar Rebranding?

Pendahuluan – Perubahan kurikulum merupakan salah satu fenomena yang mencirikan sistem pendidikan di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, kurikulum telah mengalami berbagai modifikasi, mulai dari Kurikulum 1975 hingga Kurikulum Merdeka yang diimplementasikan belakangan ini. Pergantian kurikulum ini sering kali dilakukan dengan tujuan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Namun, pola perubahan yang berulang dan cenderung bersamaan dengan pergantian kepemimpinan menimbulkan pertanyaan: apakah ini mencerminkan reformasi yang mendalam atau hanya rebranding yang bersifat kosmetik?

Isu ini penting untuk dibahas karena kurikulum adalah inti dari sistem pendidikan. Ia menentukan arah pembelajaran, kompetensi siswa, dan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Perubahan yang tidak terencana dengan baik dapat menimbulkan berbagai konsekuensi, baik bagi guru, siswa, maupun sekolah. Tidak jarang, guru merasa kesulitan beradaptasi dengan tuntutan kurikulum baru, sementara siswa menghadapi ketidakstabilan dalam proses belajar. Sekolah pun sering terbebani oleh kebutuhan sumber daya tambahan untuk mendukung implementasi. Oleh karena itu, perubahan kurikulum yang tidak didasarkan pada evaluasi mendalam hanya akan menjadi beban tambahan tanpa memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan.

Selain itu, pendidikan memerlukan kesinambungan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Pergantian kurikulum yang terlalu sering menciptakan kesan bahwa sistem pendidikan Indonesia lebih sibuk dengan pembaruan formal daripada fokus pada substansi. Akibatnya, esensi dari pendidikan, yaitu menciptakan generasi yang berdaya saing dan berbudi pekerti luhur, sering kali terabaikan. Dengan perubahan yang berulang, sulit untuk mengevaluasi efektivitas suatu kurikulum karena implementasinya belum cukup matang. Hal ini membuat sistem pendidikan kita rentan terhadap fragmentasi dan inkonsistensi.

Membahas apakah pergantian kurikulum di Indonesia merupakan reformasi sejati atau sekadar rebranding adalah langkah penting untuk memahami tantangan mendasar dalam sistem pendidikan kita. Opini ini diharapkan dapat memberikan wawasan kritis sekaligus rekomendasi untuk menciptakan kurikulum yang lebih berkelanjutan dan efektif. Reformasi pendidikan tidak hanya tentang mengganti nama atau format, tetapi juga tentang membangun sistem yang kokoh dan konsisten demi masa depan generasi bangsa.

Sejarah Singkat kurikulum Indonesia

Perubahan kurikulum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik dan pergantian pemerintahan yang terjadi di setiap era. Pada masa Orde Lama, misalnya, Kurikulum 1947 dan Kurikulum 1964 mencerminkan semangat nasionalisme yang berakar pada visi Presiden Soekarno untuk membangun identitas bangsa pascakolonial. Kurikulum 1964 yang berfokus pada konsep Pancawardhana sesuai dengan kebijakan politik Soekarno yang menekankan pembangunan manusia Indonesia sebagai subjek utama revolusi. Namun, pergantian pemerintahan ke era Orde Baru membawa perubahan mendasar dalam arah kebijakan pendidikan.

Di bawah pemerintahan Soeharto, Kurikulum 1968 diperkenalkan untuk menciptakan “manusia Pancasilais sejati,” mencerminkan upaya rezim Orde Baru untuk memperkuat stabilitas politik dan kesetiaan ideologi negara. Pendidikan diarahkan untuk menjadi alat kontrol sosial dan pembentukan kesadaran nasional yang seragam. Selanjutnya, Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984 memperlihatkan pendekatan teknokratis, sejalan dengan kebijakan politik Soeharto yang menekankan modernisasi dan efisiensi dalam pembangunan. Pergantian kurikulum pada era ini menunjukkan bagaimana pendidikan digunakan sebagai instrumen politik untuk menopang legitimasi pemerintahan.

Setelah jatuhnya Orde Baru pada 1998, reformasi politik memberikan ruang bagi perubahan sistem pendidikan yang lebih demokratis. Kurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP) mencerminkan semangat desentralisasi yang menjadi agenda utama pascareformasi. Pemerintah memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyusun silabus sesuai kebutuhan lokal. Namun, pergantian pemerintahan yang cepat pada era reformasi, dengan banyaknya kabinet berganti, membuat arah pendidikan sering kehilangan konsistensi. Kurikulum 2013, yang diperkenalkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, menggeser fokus ke pendidikan karakter dan kompetensi abad ke-21, tetapi pelaksanaannya diwarnai kritik akibat minimnya persiapan di lapangan.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo, pengenalan Kurikulum Merdeka pada 2022 mencerminkan respons terhadap krisis pembelajaran akibat pandemi COVID-19. Kurikulum ini sejalan dengan kebijakan politik Presiden Jokowi yang menekankan fleksibilitas, inovasi, dan digitalisasi. Namun, seperti kurikulum sebelumnya, implementasinya masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal kesenjangan fasilitas di daerah dan kesiapan guru. Pola ini memperlihatkan bahwa pergantian kurikulum sering kali lebih mencerminkan arah kebijakan politik yang diambil oleh pemerintahan baru, ketimbang hasil evaluasi mendalam terhadap efektivitas kurikulum sebelumnya.

Dengan demikian, kurikulum di Indonesia sering kali menjadi representasi kebijakan politik rezim yang berkuasa, menjadikannya alat untuk mencerminkan visi pemerintahan alih-alih memastikan stabilitas dan keberlanjutan dalam pendidikan.

Dapak pergantian kurikulum

Pergantian kurikulum di Indonesia membawa dampak yang signifikan bagi berbagai elemen dalam sistem pendidikan, terutama guru. Sebagai garda terdepan dalam implementasi kurikulum, guru sering kali menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan metode pengajaran dengan pendekatan baru yang diperkenalkan. Minimnya pelatihan yang memadai membuat sebagian besar guru merasa kurang siap untuk mengaplikasikan kurikulum secara optimal di kelas. Pergantian yang terlalu cepat juga sering kali tidak disertai dengan bimbingan teknis yang komprehensif, sehingga banyak guru harus belajar mandiri atau bahkan mengalami kebingungan. Akibatnya, beban kerja guru meningkat, dan kualitas pembelajaran yang diterima siswa menjadi kurang maksimal.

Bagi siswa, perubahan kurikulum yang sering terjadi menciptakan ketidakstabilan dalam proses belajar. Pendekatan dan materi yang berubah-ubah menyebabkan siswa kesulitan menyesuaikan diri dengan pola pembelajaran baru, terutama ketika kurikulum baru tidak selaras dengan yang sebelumnya. Ketidaksinkronan ini dapat berdampak pada hilangnya pemahaman mendalam terhadap materi yang diajarkan. Misalnya, siswa yang memulai pendidikan dengan kurikulum tertentu sering kali mengalami kebingungan ketika tiba-tiba harus menyesuaikan diri dengan pendekatan berbeda yang belum matang diimplementasikan. Dalam jangka panjang, ini dapat memengaruhi pencapaian akademik siswa serta daya saing mereka di tingkat global.

Dampak lain terasa di tingkat sekolah, terutama dalam hal biaya implementasi. Setiap kali terjadi pergantian kurikulum, sekolah harus mengalokasikan sumber daya untuk mengadakan pelatihan guru, memperbarui bahan ajar, dan menyesuaikan fasilitas pembelajaran. Sekolah-sekolah dengan anggaran terbatas, terutama di daerah terpencil, sering kali kesulitan memenuhi tuntutan ini. Kurangnya infrastruktur pendukung dapat menghambat penerapan kurikulum baru, sehingga terjadi kesenjangan kualitas pendidikan antara sekolah di perkotaan dan pedesaan. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa pergantian kurikulum tidak hanya berdampak pada aspek pedagogis, tetapi juga menciptakan tantangan administratif dan finansial bagi institusi pendidikan.

Pada level sistem, pergantian kurikulum yang sering terjadi menunjukkan kurangnya kesinambungan dalam merancang visi pendidikan jangka panjang. Pergantian kurikulum sering kali lebih mencerminkan agenda politik daripada kebutuhan pendidikan nasional yang mendalam. Akibatnya, sistem pendidikan kehilangan arah yang konsisten dalam membangun generasi yang sesuai dengan tantangan zaman. Evaluasi terhadap efektivitas kurikulum pun menjadi sulit dilakukan karena kurikulum belum sempat mencapai fase implementasi yang matang sebelum digantikan oleh kebijakan baru. Dalam jangka panjang, pola ini merugikan sistem pendidikan nasional, menghalangi tercapainya tujuan pendidikan yang holistik dan berkelanjutan.

Reformasi atau rebranding?

Pergantian kurikulum di Indonesia sering kali diklaim sebagai upaya reformasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah apakah pergantian ini benar-benar memenuhi esensi reformasi, yaitu membawa perubahan mendalam dan signifikan guna menyelesaikan masalah inti dalam sistem pendidikan. Dalam praktiknya, banyak pergantian kurikulum yang hanya berfokus pada aspek-aspek permukaan, seperti perubahan nama, format dokumen, atau terminologi yang digunakan, tanpa menyentuh akar permasalahan seperti kesenjangan mutu pendidikan, ketidaksiapan guru, atau keterbatasan infrastruktur pendidikan. Akibatnya, pergantian kurikulum lebih menyerupai rebranding daripada reformasi substantif.

Reformasi sejati seharusnya dirancang untuk mengatasi masalah-masalah inti dalam pendidikan, seperti rendahnya literasi dan numerasi siswa, ketimpangan kualitas pendidikan antar wilayah, atau kesenjangan antara pendidikan formal dan kebutuhan dunia kerja. Namun, sebagian besar pergantian kurikulum di Indonesia justru terkesan tergesa-gesa, tanpa perencanaan jangka panjang yang matang. Contohnya, perubahan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ke Kurikulum 2013 dilakukan dengan harapan memperbaiki pendidikan karakter dan kompetensi abad ke-21, tetapi implementasinya menghadapi banyak kritik akibat kurangnya kesiapan teknis dan dukungan terhadap guru. Hal ini menunjukkan bahwa pergantian kurikulum belum menyentuh inti persoalan yang sebenarnya, melainkan hanya mengganti “kemasan” pendidikan.

Pergantian kurikulum yang terlalu sering juga menunjukkan kurangnya evaluasi mendalam terhadap efektivitas kurikulum sebelumnya. Dalam banyak kasus, kurikulum baru diperkenalkan tanpa analisis komprehensif tentang apa yang berhasil dan tidak berhasil dari kurikulum sebelumnya. Evaluasi yang minim ini menyebabkan permasalahan yang sama terus berulang, seperti beban kurikulum yang terlalu berat, kurangnya relevansi materi dengan kebutuhan siswa, serta ketidaksesuaian antara kemampuan guru dan tuntutan kurikulum. Akibatnya, tujuan reformasi untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik sering kali tidak tercapai, bahkan menciptakan kebingungan di kalangan guru dan siswa.

Selain itu, pendekatan “rebranding” dalam pergantian kurikulum terlihat dari kecenderungan pemerintah untuk mengganti nama dan istilah sebagai simbol perubahan, tanpa perbedaan substansial dalam penerapannya. Contohnya, peralihan dari KTSP ke Kurikulum 2013 hingga Kurikulum Merdeka sering kali lebih difokuskan pada penggantian format pembelajaran atau pendekatan tematik, tetapi tidak diiringi dengan peningkatan signifikan dalam pelatihan guru, penyediaan bahan ajar yang berkualitas, atau pengurangan kesenjangan infrastruktur. Hal ini menunjukkan bahwa pergantian kurikulum lebih sering digunakan sebagai alat politik untuk menunjukkan “kerja nyata” pemerintah, ketimbang reformasi yang benar-benar berdampak positif pada siswa.

Ketiadaan kesinambungan juga menjadi salah satu indikator bahwa pergantian kurikulum lebih dekat dengan rebranding daripada reformasi. Reformasi sejati membutuhkan konsistensi visi jangka panjang yang melibatkan proses perbaikan bertahap berdasarkan data dan evaluasi. Namun, di Indonesia, setiap pergantian pemerintah sering kali disertai dengan pergantian kurikulum yang mencerminkan arah kebijakan politik baru. Pergantian ini sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang atau kebutuhan mendasar dari sistem pendidikan itu sendiri. Pola ini menghambat terciptanya sistem pendidikan yang stabil, berkelanjutan, dan mampu menjawab tantangan global.

Dengan demikian, pertanyaan “reformasi atau rebranding?” menjadi sangat relevan untuk menilai pergantian kurikulum di Indonesia. Selama pergantian ini hanya menghasilkan perubahan kosmetik tanpa menyelesaikan permasalahan inti dalam pendidikan, maka upaya tersebut lebih pantas disebut sebagai rebranding daripada reformasi. Untuk menciptakan reformasi yang sebenarnya, pemerintah perlu berfokus pada evaluasi mendalam, keterlibatan semua pemangku kepentingan, serta perencanaan yang matang untuk memastikan perubahan kurikulum benar-benar meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara keseluruhan.

Harapan dan Tantangan Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka hadir dengan visi memberikan fleksibilitas dalam pembelajaran, yang diharapkan mampu menjawab kebutuhan siswa di era modern. Salah satu keunggulannya adalah pendekatan berbasis proyek yang menekankan pengembangan kompetensi siswa dalam berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Kurikulum ini juga memberikan keleluasaan kepada guru untuk mengatur materi sesuai dengan karakteristik siswa dan kebutuhan sekolah. Hal ini sejalan dengan prinsip diferensiasi dalam pembelajaran, yang bertujuan untuk mengakomodasi keberagaman kemampuan dan minat siswa. Dengan fleksibilitas ini, Kurikulum Merdeka memiliki potensi untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih relevan dan kontekstual bagi siswa, sekaligus mendorong inovasi dalam proses pembelajaran.

Namun, pelaksanaan Kurikulum Merdeka di lapangan menghadapi tantangan yang signifikan. Salah satu tantangan utama adalah implementasi yang tidak seragam di berbagai daerah. Sekolah di wilayah perkotaan dengan infrastruktur yang memadai lebih siap menerapkan kurikulum ini dibandingkan dengan sekolah di daerah terpencil yang sering kali kekurangan sumber daya. Selain itu, kesiapan guru juga menjadi isu krusial. Banyak guru merasa belum cukup terlatih untuk mengadopsi metode pembelajaran berbasis proyek atau memanfaatkan fleksibilitas kurikulum secara efektif. Minimnya pelatihan teknis dan pendampingan membuat guru cenderung kembali ke metode konvensional, sehingga potensi inovasi yang ditawarkan Kurikulum Merdeka tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Infrastruktur yang belum memadai juga menjadi kendala besar. Kurikulum Merdeka mengandalkan akses ke teknologi dan sumber belajar yang variatif, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan kesenjangan akses yang mencolok antara sekolah dengan fasilitas lengkap dan sekolah di daerah marginal. Keterbatasan perangkat digital, jaringan internet, serta bahan ajar yang relevan menghambat penerapan kurikulum secara optimal. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Kurikulum Merdeka mampu menjadi solusi yang inklusif untuk seluruh siswa Indonesia, atau justru memperbesar kesenjangan kualitas pendidikan antara wilayah maju dan terbelakang?

Dengan berbagai tantangan ini, muncul keraguan apakah Kurikulum Merdeka benar-benar merupakan solusi komprehensif atau hanya bentuk rebranding lain dari kebijakan pendidikan sebelumnya. Meski menawarkan gagasan-gagasan yang menarik, seperti pembelajaran berbasis proyek dan fleksibilitas, keberhasilan Kurikulum Merdeka sangat bergantung pada dukungan sistemik yang kuat, termasuk pelatihan guru yang intensif, pengadaan infrastruktur yang merata, dan monitoring yang berkelanjutan. Tanpa langkah-langkah strategis tersebut, Kurikulum Merdeka berisiko menjadi simbol perubahan yang tidak menyentuh akar permasalahan, sehingga gagal memberikan dampak signifikan bagi transformasi pendidikan di Indonesia.

Penutup

Kesimpulan
Pergantian kurikulum yang sering terjadi di Indonesia menunjukkan pentingnya stabilitas dalam sistem pendidikan. Kurikulum yang terus berubah tanpa evaluasi mendalam hanya menciptakan kebingungan di kalangan guru, siswa, dan institusi pendidikan. Reformasi kurikulum seharusnya tidak diukur dari frekuensi perubahan, melainkan dari kualitas dan dampak jangka panjangnya terhadap pembelajaran. Hanya dengan stabilitas dan perencanaan matang, sistem pendidikan dapat benar-benar memberikan kontribusi signifikan dalam mempersiapkan generasi penerus yang kompeten dan siap menghadapi tantangan zaman.

Rekomendasi
Untuk memastikan perubahan kurikulum membawa manfaat nyata, pemerintah harus mendasarkan setiap pergantian pada riset dan evaluasi mendalam, bukan sekadar pada agenda politik yang bersifat sementara. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan—guru, siswa, akademisi, dan masyarakat—akan memastikan bahwa kurikulum dirancang secara komprehensif sesuai kebutuhan nyata di lapangan. Selain itu, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus pada penguatan pelaksanaan kurikulum yang sudah ada, termasuk melalui pelatihan guru, penyediaan infrastruktur, dan monitoring yang berkesinambungan, daripada terus-menerus mengganti kurikulum. Dengan langkah-langkah ini, reformasi kurikulum dapat menjadi lebih substansial dan berkelanjutan, memberikan dampak positif bagi kualitas pendidikan nasional.

Penulis : Moh. Safik merupakan Dosen tetap Ekonomi Syariah IAIMU Pamekasan